Hustle Culture: Budaya Gila Kerja yang Harus Dihindari
Hustle culture adalah salah satu istilah yang banyak digunakan akhir-akhir ini. Istilah ini menggambarkan sebuah budaya kerja keras yang minim waktu istirahat.
Mereka yang mendukung budaya kerja ini berpendapat bahwa ini adalah salah satu upaya untuk mencapai kesuksesan, karena jika kita tidak mengambil langkah lebih dari apa yang kita lakukan sekarang, akan sangat sulit untuk mencapai target yang kita inginkan.
Apa yang dimaksud hustle culture?
Secara harfiah “hustle” berasal dari bahasa Inggris yang berarti “mendorong dengan cepat”. Sederhananya, hustle culture mendorong seseorang agar bergerak lebih cepat dalam bekerja.
Misalnya, setelah bangun tidur dan bersiap kamu langsung membuka email kerja. Di kantor pun kamu sibuk dan terlalu fokus bekerja. Begitu sore hari, di rumah pun kamu masih melakukan pekerjaan. Siklus ini pun berlangsung termasuk pada akhir pekan. Terdengar familiar?
Yes, hustle culture tidak lain membentuk seseorang menjadi workaholic. Mereka yang berkerja tanpa henti demi targetnya tercapai, tidak kenal istirahat.
Bekerja keras dan fokus memang baik, karena itulah tanggung jawab kita sebagai pekerja. Namun jika tidak memperhatikan waktu, kesehatan, sampai mengganggu jam alami tubuh akan berdampak buruk bagi diri kita sendiri.
Di Indonesia, budaya ini semakin berkembang seiring pertumbuhan perusahaan start-up yang mendorong pekerja dengan ritme yang cepat. Apalagi didukung dengan perkembangan dunia digital seperti email, video call, dan juga virtual space yang membuat jam kerja tak lagi menentu.
Baik atasan maupun karyawan seharusnya saling menghargai batasan masing-masing, dan menyeimbangkan porsi antara jam kerja dan urusan pribadi.
Penyebab hustle culture
Apa yang menyebabkan seseorang terjebak dalam budaya ini?
Salah satunya adalah perkembangan teknologi.
Di masa sekarang, apalagi setelah pandemi, bekerja dari rumah atau dari mana saja (remote working) sudah menjadi hal yang umum dilakukan. Kondisi ini membuat batas antara “tempat bekerja” dan “tempat istirahat” menjadi bias.
Selain tempat, media komunikasi juga mendukung budaya yang tidak sehat ini.
Penyebab lain dari hustle culture adalah standar sosial di masyarakat.
Adanya asumsi bahwa jika seseorang memiliki banyak pekerjaan, artinya mereka sukses. Jika terlihat sibuk, bisa berarti seseorang tersebut memiliki jabatan yang tinggi dan berhasil mendapatkan materi lainnya.
Konten yang tersebar di media sosial pun sama. Contohnya, target usia 30 “idealnya” sudah memiliki tabungan 100 juta, lulus kuliah harus langsung bekerja, dan asumsi lainnya yang tentu tidak bisa disamaratakan.
Standar sosial ini juga menghasilkan istilah lain yang disebut toxic productivity, yaitu pemikiran bahwa kita harus tetap berpikiran positif dan terus berusaha tanpa memikirkan keadaan. Padahal, wajar jika kita istirahat karena kelelahan.
Toxic productivity ini menyalahartikan kalimat “sukses hanya milik mereka yang bekerja keras”, sehingga ketika kita ingin beristirahat, otak akan langsung merespons bahwa kita tidak boleh istirahat dan kita harus manfaatkan waktu yang ada untuk terus bekerja. Tentu ini adalah pemikiran yang salah.
Dampak negatif dari hustle culture
Mengutip dari Psychreg, ada beberapa dampak negatif dari adanya hustle culture antara lain:
1. Stres level meningkat
Salah satu dari banyak dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh budaya kerja ini terhadap kesejahteraan mental seseorang adalah meningkatnya level stres. Kondisi ini dapat memengaruhi orang baik secara mental maupun fisik, dan dapat menimbulkan perasaan cemas hingga depresi.
Stres dalam bentuk mental dapat membebani pikiran yang juga memengaruhi kesehatan fisik seperti penyakit jantung, sakit kepala, hingga kesulitan bernapas karena rasa panik.
Stres yang disebabkan oleh tekanan kerja yang berat, jam kerja yang panjang, dan beban kerja dapat mengakibatkan kelelahan. Menjadi kelelahan dapat memengaruhi tugas sehari-hari di tempat kerja atau di rumah. Dia akan terus merasa kurang produktif dan menyalahkan diri sendiri.
2. Meningkatkan rasa cemas
Budaya kerja seperti ini menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan menimbulkan rasa takut, rasa bersalah, rasa malu, dan menganggap kerja lembur adalah sesuatu yang harusnya dibanggakan. Sikap tersebut dapat menyebabkan kasus kecemasan atau anxiety yang parah.
Rasa cemas tersebut membuat pekerja merasa gagal jika sempat istirahat. Tidak membiarkan diri untuk bersantai bisa sangat berbahaya bagi kesehatan mental dan kesejahteraan. Rasa cemas dapat menyebabkan banyak masalah lain termasuk kurang tidur dan kelelahan.
3. Kelelahan
Bekerja terlalu banyak, merasa terus-menerus di bawah tekanan dan memiliki siklus tidur yang buruk dapat menyebabkan kelelahan, sulit konsentrasi, sulit mengingat, dan emosi yang tidak stabil.
Terdapat kasus dimana secara tidak sadar seseorang tertidur begitu saja saat bekerja, karena tubuh sangat butuh istirahat. Bayangkan jika terjadi pada pengemudi kendaraan atau pekerja pabrik yang melibatkan mesin dan alat berat, sangat berisiko.
Dengan beberapa perubahan gaya hidup yang sederhana dan praktis seperti lebih banyak istirahat dan tidur yang cukup, kelelahan dapat berkurang seiring waktu, tetapi dalam beberapa kasus mungkin perlu ke dokter.
4. Produktivitas menurun
Meskipun budaya kerja “hustling” ini menyebabkan seseorang menambah waktu kerja mereka dan mengurangi waktu yang mereka miliki untuk tidur, hal itu dapat menyebabkan orang menjadi kurang produktif, membuat seluruh prinsip itu sendiri menjadi sangat kontraproduktif.
Inilah sebabnya mengapa hustle culture berdampak negatif, baik pada atasan maupun pekerja. Bagi atasan, mereka akan dipersulit oleh pekerja yang kurang produktif, dan pekerja pun mulai menghadapi banyak masalah kesehatan fisik dan mental yang seharusnya tidak terjadi.
Cara mengatasi hustle culture
Mengatur keseimbangan dalam bekerja dapat membantumu untuk melakukan hal-hal lain yang kamu sukai di luar pekerjaan. Ini juga dapat membantumu melakukan refleksi diri, apakah pekerjaanmu saat ini memuaskan atau tidak.
Berikut beberapa tips agar terhindar dan berhenti dari hustle culture.
1. Atur batasan
Mengenal diri sendiri dan atur batasan yang jelas membuatmu jadi lebih terkontrol dan tidak overworked. Paham dan tegas kapan harus menolak pekerjaan jika sudah kewalahan, dan mengerti tanda-tanda tubuh ketika butuh istirahat.
Niatkan dari dalam diri untuk berhenti hustling, jangan memaksakan diri karena standar yang tidak manusiawi.
Mulailah dari yang sederhana, tidak perlu mengecek email ketika waktunya sarapan, lakukanlah saat sudah sampai kantor. Kemudian, sempatkan istirahat 10 menit setelah 2 jam bekerja.
Jika atasan memberikan pekerjaan tambahan, belajarlah untuk menolaknya, atau meminta keringanan untuk mengerjakannya bersama tim lain.
2. Stop multitasking
Mentalitas budaya ini membuat kamu melakukan banyak tugas secara simultan, tapi hasilnya bisa tidak maksimal.
Multitasking dapat menurunkan fokus dan fungsi memori otak. Jadi, daripada melakukan tiga pekerjaan sekaligus, lebih baik fokus dan selesaikan tugasnya satu persatu.
3. Atur prioritas
Untuk membuatmu lebih fokus, buatlah skala prioritas dalam setiap tugas-tugasmu.
Buatlah daftar dalam bentuk tulisan di atas kertas. Sama halnya seperti menulis diary, menulis di atas kertas dapat membantu meredam rasa cemas.
Ketika selesai melakukan satu tugas, berikan tanda centang pada daftar tersebut, gerakan kecil ini akan memicu dopamin ke otak untuk mengetahui bahwa kamu berhasil menyelesaikan sesuatu.
4. Konsultasi dengan profesional
Jika pekerjaan ini sudah mengganggu kehidupanmu, pertimbangkanlah untuk konsultasi dengan terapis yang profesional. Mereka akan membantu menganalisis pola perilaku yang mungkin menjadi masalah dan memberikan saran untuk perbaikan.
Kamu mungkin berpikir kamu bekerja keras untuk keluargamu atau orang terkasih lainnya, namun yang perlu diingat, kalau kamu sampai kelelahan dan sakit, kamu justru tidak membahagiakan mereka.
Bayangkan kondisi seperti di pesawat, utamakan pakai masker oksigen untuk diri sendiri sebelum membantu orang lain.
Fokus dalam bekerja memang baik dan membuktikan kamu adalah orang yang pekerja keras, namun jangan sampai berlebihan yang justru akan merugikan diri sendiri. Sebagai generasi meilenial yang erat kaitannya dengan hustle culture, kita harus paham dampak dan cara mengatasinya.